Benarkah Wanita dengan Gelar Pendidikan Tinggi Susah Dapat Jodoh di Aceh?

Laporan ,

bimcmedia.com, Opini - Pertanyaan ini kerap sekali muncul di benak masyarakat Aceh. “Cantik-cantik kenapa belum menikah ya?”

Pernikahan memang sama, di mana-mana demikian. Pertanyaan “Kapan kawin?” begitu menggoda orang-orang untuk terus bertanya.

Jodoh di tangan Tuhan tidak bisa lagi dijawab benar atau tidak karena tidak semua orang selamanya berada dalam konteks yang demikian.

Orang-orang yang cenderung mengubris kehidupan orang lain sejatinya mulut besar yang susah dihentikan.

Soal pernikahan pula, di Aceh terlalu rumit untuk dibicarakan. Orang-orang Aceh tidak bermain aman saja dalam urusan menikah.

Menikah tidak semudah memacari seorang gadis atau bermain dengan si ganteng yang putih mulus. Menikah di Aceh akan bermain soal keturunan siapa dan bagaimana latar belakang pendidikannya.

Mahar. Kamu akan menemukan hal ini sebagai dasar sebuah pernikahan. Dalam Islam memang telah disebutkan bahwa tanda pernikahan adalah mahar namun tidak menjelaskan secara detail mahar itu berapa dan dalam bentuk apa.

Di Aceh, mahar seorang pria menikahi seorang wanita idaman adalah emas. Emas saja tidak cukup apabila keluarga si wanita tidak mau menerima pinangan dari seorang pria yang cuma bekerja sebagai tukang bangunan.

Strata pekerjaan sangat menentukan seorang pria mendapatkan jodoh di Aceh. Strata pendidikan seorang gadis pun mengemukakan dirinya sebagai pemain ulung dalam sebuah pernikahan.

Gadis yang akan dilamar dengan pendidikan tinggi sekonyong-konyong memasang ‘tarif’ tinggi pula. Wanita yang demikian seperti tidak mau melirik pria yang bekerja sebagai tukang kebun walaupun memiliki emas dalam jumlah banyak.

Bagi wanita dan keluarga wanita yang telah menempuh pendidikan sampai ke luar negeri, jodoh terbaik untuknya dan bagi keluarganya adalah pria yang setara dengan dirinya.

Dan, pertanyaan pada judul artikel ini seakan membenarkan bahwa wanita yang mencari pria bukan sebaliknya. Wanita yang memasang sabuk pengaman terlalu erat semakin hari makin bertambah umur.

Pria yang ditolak tentu saja tidak mau berdiam diri dengan seorang wanita saja. Bahkan, wanita dengan panjang gelarnya tersebut bukan tidak mungkin dijauhi oleh pria karena takut dicambuk terlebih dahulu.

Pria sadar diri dan mencari aman dengan wanita yang sepadan sehingga tidak berani mendekati wanita dengan gelar profesor.

Pria merasa kerdil sebelum mengetuk pintu karena hukum alam akan berlaku dengan sendirinya.

Sekali saja wanita dengan gelar pendidikan tinggi ini menolak, maka pria akan berlari ke pintu rumah sebelah yang bisa saja lebih mekar dari senyuman dan tata krama.

“Dia kan sudah S2 di luar negeri!” Tanpa disadari bahwa pelabelan ini begitu berlaku di Aceh. Wanita yang telah menempuh pendidikan tinggi sampai ke luar negeri, dengan sendirinya akan mematok mahar cukup tinggi pula.

Entah beginilah pola hidup, entah karena kebiasaan masyarakat, atau karena ego keluarga dari wanita yang demikian adanya.

Emas dengan nilai 10 mayam (1 mayam sama dengan 1.33 gram), akan dilempar melalui jendela dari wanita yang akan naik jabatan di kampus ternama ini.

Keluarga terpandang dengan segenap keharmonisan dan keharuman anaknya paling tidak menerima emas sebesar 20 mayam saat melamar.

Belum lagi jika berbicara adat pernikahan Aceh yang beragam, emas saja tidak cukup tanpa memenuhi kamar dengan peralatan rumah tangga sampai puluhan juta.

Begitukah mahar seorang gadis yang baru saja pulang dari luar negeri? Bagai dua sisi mata uang, pertanyaan ini adakala benar.

Lirik kiri dan kanan, beberapa lulusan pendidikan tinggi belum menikah di atas usia 30 tahun. Saat rekan-rekannya sedang bersenang-senang bersama suami dan anak, ia masih melawan ego membimbing skripsi mahasiswa.

Saat teman-teman seusianya mengurus rumah tangga, ia masih mempertimbangkan pria tetangga yang tak mau melamar.

Hasrat hati mungkin saja ingin tetapi karena telah memasang tarif pada kali pertama, pria lain memundurkan langkah untuk mengetuk pintu rumahnya.

Jodoh tak akan lari ke mana namun apabila terus ditolak, jodoh akan lari ke mana-mana. Wanita dengan gelar pendidikan tinggi mungkin saja terlalu sibuk dengan disertasi atau memang tidak mau menerima emas dengan jumlah sedikit. Mungkin saja mereka mengalkulasikan biaya pendidikan dan meninggikan titel luar negeri.

Pernikahan yang selayaknya mesra di tahun 30-an belum berbuah manis karena pria yang diincar tak kunjung tiba.

Wanita Aceh dan fenomena jodoh ini tidak bisa dipisahkan begitu saja. Dalam suatu waktu, mereka terlihat egois dan pongah karena telah memiliki gelar tinggi.

Di waktu tertentu, mereka lupa bahwa usia terus berjalan, pria mencari idaman di rumah tetangga. Jika memang berharap pria yang setara, yang sempurna segala rasa, sampai waktu lebih lama jodoh itu tidak menjawab tantangan.

“Dia tidak mau menerima si Tampan karena belum ada pekerjaan tetap!” Olok-olok tetangga terus berlanjut karena hidup penuh warna-warni. Kehidupan yang semakin marak oleh keegoisan tidak akan pernah melihat ke belakang.

Kehidupan yang semakin dewasa juga tidak pernah lagi menelurkan apa da mengapa.

Orang-orang terlalu sibuk dengan kehidupan pribadi sehingga ditolak seorang wanita dengan gelar luar negeri, segera mencari wantia tanpa gelar sekalipun.

Soal bahaya itu adalah segenap rasa yang diselami kemudian hari. Hari ini belum terasa, besok akan dimanja karena percintaan itu bukan hari ini saja.

Benarkah wanita Aceh susah mendapatkan jodoh jika telah memiliki gelar tinggi? Saya rasa anggapan ini kembali kepada masing-masing yang menjalani.

Soal pendidikan nggak ada pendapat harus rendah atau tinggi. Namun soal jodoh jangan pernah menolak sampai tiga kali.

Wanita yang cenderung menolak si Tampan, si Ganteng dan si Rupawan, besok hari akan sulit mendengar ketukan pintu dari si gagah lainnya.

Maka apa yang mesti dilakukan, biar pria seorang tukang panjat kelapa, jika baik budinya, jika dewasa pemikirannya, nggak ada salah untuk menerima kehadirannya dalam cinta.

Komentar

Loading...