Demi Penegakan Hukum Terkait Korupsi Replanting Kasus Program Sawit

GeRAK Aceh Barat Siap Dukung dan Kawal Terus

Demi Penegakan Hukum
Bimcmedia.com | Edy Syahputra, Koordinator GeRAK Aceh Barat | Ist

Bimcmedia.com, Aceh Barat : Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh Barat terus mendukung dan Kawal upaya penegakan hukum dalam kasus pengelolaan Program Replanting Sawit yang saat ini telah dilakukan upaya penyidikan oleh pihak pihak Kejaksaan Tinggi (Kejati) Provinsi Aceh. Bahkan sebagaimana dimuat dalam media, Kepala Seksi Penerangan Hukum (Kasipenkum) Kejati Aceh.

"Pastinya, Demi Penegakan Hukum kita terus akan kawal terus demi penegakan hukum dalam upaya pengusutan secara utuh dan tidak sepenggal-penggal terkait dugaan adanya indikasi kerugian negara dalam pengelolaan program Kementerian Keuangan, melalui Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian yang merilis program hibah Rp. 25 juta/org/KK untuk Program Replenting Sawit (Peremajaan Sawit) di sektor perkebunan sawit rakyat" Ujar, Edy yang merupakan Koordinasi GeRAK Aceh Barat

Selain dari pada itu Koordinasi GeRAK Aceh Barat juga menambahkan bahwa berdasarkan Keputusan Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit Nomor Kep-167/DPKS/2020, Tentang Besaran Standar Biaya Dana Peremajaan Perkebunan Kelapa Sawit Yang Dibiayai Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit meningkat menjadi Rp. 30.000.000.- per hektar.

" Kami telah menyoriti secara khusus adalah perihal Surat Kementerian Pertanian Direktorat Jenderal Perkebunan dengan Nomor surat : 1365/PW.120/E.4/11/2020 pada tanggal 19 November 2020 perihal Permintaan Data Terkait Lahan Dalam Rangka PDTT BPK-RI Peremajaan Kelapa Sawit, yaitu dalam surat tersebut menyebutkan surat tugas BPK-RI Nomor 103/ST/VI/10/2020 tanggal 02 Oktober 2020 terkait Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu atas Peremajaan Perkebunan Kelapa Sawit Tahun 2018, 2019, dan 2020 (s.d Triwulan III) Demi Penegakan Hukum di negeri ini" jelasnya .

Dalam surat tersebut disebutkan ada empat item kegiatan yang berpotensi atau diduga bermasalah dan menimbulkan kerugian negara.

Seperti lahan pekebun terindikasi masuk dalam Kawasan hutan dan HGU perusahaan, beberapa lahan terindikasi tidak sesuai kriteria peremajaan/bukan lahan sawit, beberapa lahan terindikasi tumpeng tindih antara pekebun dengan pekebun lain dan/atau beririsan dengan lahan pekebun lainnya, dan ke empat beberapa lahan yang alas haknya berupa sertifikat hak milik (SHM) dan atau legalitas lahan lainnya yang terindikasi luasannya tidak sesuai antara luas usulan dengan luas yang luas yang sebenarnya di lapangan.

Ada empat item tersebut, bila kita lihat program yang dilaksanakan pada tahun 2018 hingga 2020 awal, maka nilai Rp. 25 juta/orang/KK. Pertama, lahan pekebunan kelapa sawit di dalam area HGU Perusahaan Kelapa Sawit swasta dengan dengan jumlah total mencapai 190,13 hektar. Total angkanya mencapai nilai Rp. 4.75 miliar, itu untuk Koperasi Produsen Mandiri Jaya Beusare di Kabupaten Aceh Barat.

Sedangkan untuk Kabupaten Nagan Raya yaitu Koperasi Jasa Seupakat Makmue Beusare dengan jumlah hectare mencapai 8,43, bila dikalikan dengan angka Rp. 25 juta maka jumlahnya adalah Rp. 210 juta.

Kedua, lahan perkebunan yang diduga masuk dalam kawasan hutan, untuk Kabupaten Aceh Barat yaitu Koperasi Produsen Mandiri Jaya Beusare dengan jumlahnya mencapai 197,29 hektare dengan jumlah produksinya mencapai 61 hektare dan indikasi kerugiannya yaitu mencapai Rp. 1.5 miliar. Yang menjadi pertanyaan, kemana dibawa ratusan kubik kayu hasil penebangan Kawasan hutan tersebut.

Bahwa atas hal tersebut kami juga mendesak pihak penegak hukum untuk melakukan audit investigatif guna mengetahui berapa banyak kayu olahan dari hutan yang ditebang oleh pihak koperasi dan siapa yang menjual serta menampung kayu olahan tersebut.

Patut kami duga, kegiatan penembangan hutan yang dilakukan oleh pihak koperasi telah menimbulkan potensi kerugian negara disektor kehutanan dan kami juga mendesak pihak kejaksaan untuk memanggil dinas atau otoritas terkait. Harapannya adalah melakukan penindakan hukum terhadap pelaksanaan kegiatan tersebut terkait meminalasir potensi kerugian besar.

Dimana disebutkan bahwa kajian teranyar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan, kerugian negara dari penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dan kayu komersial yang tak tercatat, mencapai nilai fantantis hampir Rp. 900 triliun dalam periode 2003-2014.

Patut diingat bahwa potensi kerugian negara bersumber dari nilai komersial kayu tidak tercatat. Tentunya ini menjadi penting untuk segera menghitung nilai ini karena hasil hutan kayu pada kawasan hutan di bawah pemerintah merupakan aset negara.

Bila mengacu kepada aturan hukum, kayu tidak tercatat menjadi aset negara yang dicuri, dan uang hasil penjualan kayu ini dapat dianggap kerugian negara dan hasil kejahatan (proceeds of a crime).

Bahwa diketahui, penggunaan harta hasil kejahatan pembalakan liar atau tidak mempunyai izin penebangan kayu dapat dikriminalisasi melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU 8/2010, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 122).

Aturan lain juga diperkuat dengan lahirnya Renstra KPK 2011-2015 menetapkan sektor SDA/Ketahanan Energi menjadi salah satu fokus area pemberantasan korupsi, Sektor Kehutanan merupakan salah satu sektor yang termasuk didalamnya. Nota Kesepakatan Bersama Tentang Gerakan Nasional Penyelematan Sumberdaya Alam Indonesia yang ditandatangani oleh 27 Kementerian/Lembaga dan 34 Provinsi pada tanggal 19 Maret 2015.

Deklarasi Penyelamatan Sumberdaya Alam Indonesia yang ditandatangani oleh Panglima TNI, Kepala Kepolisian RI, Jaksa Agung RI, dan Ketua KPK pada tanggal 19 Maret 2015.

Ketiga, lahan perkebunan sebelum kegiatan PSR bukan merupakan kebun sawit. Dari data tersebut, untuk Aceh Barat luas hektarnya mencapai 2.837,54. Bila dikalikan dengan harga Rp. 25 juta maka total nilainya mencapai Rp. 70 miliar sekian. Tentunya ini perlu penjelasan yang lebih mendetail dari pihak terkait, mengingat angkanya begitu besar. Apakah lahan perkebunan PSR bukan merupakan lahan sawit tersebut sudah kesemuanya dikerjakan atau tidak!

Ke empat, yaitu adanya data tumpang tindih lahan, untuk Kabupaten Aceh Barat berada di bawah Koperasi Produsen Mandiri Jaya Beusare, dengan luas lahannya yaitu 70,75. Bila dikalikan dengan Rp. 25 juta maka nilainya mencapai Rp. 1.76 miliar. Apakah lahan perkebunan PSR bukan merupakan lahan sawit tersebut sudah kesemuanya dikerjakan! Kemudian dalam hasil audit tersebut juga menyebutkan tentang data lahan beririsan, dimana untuk Kabupaten Aceh Barat berada dibawah Koperasi Produsen Mandiri Jaya Beusare dengan hektar luas lahan yaitu 113,09.

Bila ditotal, secara keseluruhan angkanya mencapai Rp. 18 miliar lebih, itu belum termasuk hasil hitugan lahan perkebunan sebelum kegiatan PSR bukan merupakan kebun sawit yang angkanya mencapai Rp. 70 miliar sekian. Dan juga tidak termasuk total loss untuk kayu yang ditebang dan kami duga tidak mendapatkan izin dari Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Aceh.

Sekali lagi, ini patut dipertanyakan, dan bila kemudian terindikasi adanya pihak penegak hukum yang terlibat dalam hal ini, atau dalam pengelolaan program replanting sawit tersebut, maka sepatutnya ini menjadi catatan buruk dalam penegakan hukum di republik ini, kami akan mengawalnya dan akan segera melaporkan hal ini kepada pihak penegak hukum di provinsi, hingga pusat, tidak terkecuali Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI). Bila diperlukan kami juga akan menyurati pihak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk melakukan supervisi.

Selain itu H. Munawal Hadi, yang merupakan Kepala Seksi Penerangan Hukum (Kasipenkum) Kejati Aceh mengatakan di tahap proses penyidikan, tim penyidik Kejati Aceh telah melakukan permintaan keterangan dan pengumpulan data dari pihak-pihak terkait diantaranya pihak Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) Kementerian Keuangan.

Kemudian, Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian, pihak Dinas Pertanian Provinsi Aceh, pihak Dinas Perkebunan Kabupaten Nagan Raya, pihak Koperasi Perkebunan Sejahtera Mandiri dan pihak ketiga yang melakukan kerja sama dengan Koperasi Perkebunan Sejahtera Mandiri.

Munawal menjelaskan dugaan tindak Pidana korupsi pada kasus tersebut dilakukan dengan cara tim peremajaan Dinas Perkebunan Kabupaten Nagan Raya, tidak melakukan verifikasi kebenaran Rencana Anggaran Biaya (RAB).

Sehingga, legalitas lahan yang sebagian besar hanya berdasarkan Surat Keterangan Tanah (SKT) yang ditandatangani oleh Kepala Desa diragukan kebenarannya, karena berpotensi masuk kedalam wilayah Hak Guna Usaha (HGU) perusahaan dan kawasan hutan seluas 500 hektar. Hal itu berpotensi merugikan keuangan negara sebesar Rp. 6,5 miliar.

.___

[RL,]

Komentar

Loading...
error: Content is protected !!