Format Aliansi Kaway XVI : Investasi Wajib Didukung, Tapi Jangan Merampas Hak Masyarakat !

Bimcmedia.com, Meulaboh : Terkait Penambangan Batubara yang dilakukan oleh PT. Prima Bara Mahadana Di Desa Batujaya SP3, Kecamatan Kaway XVI, Kabupaten Aceh Barat, seharusnya harus menanti seluruh aturan atau undang-undang dan harus menghormati segala sesuatu Hak Masyarakat.
Maka dari dari itu Forum Masyarakat Aliansi Kaway XVI Aceh Barat dalam sebuah press rilis, Jum'at (21/01/2022) kepada Bimcmedia.com mengatakan "Investasi Wajib Didukung, Tapi Jangan Merampas Hak Masyarakat ! dan Ketua Forum Masyarakat Aliansi Kaway XVI, Teuku Agam meminta agar siapapun pihak yang mau melakukan investasi di Kabupaten Aceh Barat untuk patuh atas ketentuan perundangan-undangan yang berlaku di republik ini, terlebih dalam melakukan aktifitasnya mereka harus menghormati hak-hak masyarakat. Tentunya kita berharap, seperti perusahan PT. Prima Bara Mahadana yang saat ini sedang melakukan eksploitasi penambangan batubara di Desa Batujaya SP3, Kecamatan Kaway XVI, Kabupaten Aceh Barat untuk tidak dengan sesekali merampas atau melakukan pengambilan tanah masyarakat secara sepihak dan tidak melakukan pembayaran kepada pemilik tanah! Faktanya, apa yang kami lakukan dengan memblokir jalan menuju arah penambangan milik perusahaan diatasnya adalah berkaitan hak kami, selaku warga negara di republik ini yang sudah dijamin oleh Undang-Undang (UU).
Atas dasar itu, kami menuntut agar PT PBM membayar tanah kami yang telah diambil secara sepihak dan tidak mempunyai ikatan dalam bentuk apapun. Kami juga meminta agar pemerintah daerah dan juga legislatif DPRK Aceh Barat untuk bersikap jelas dan tidak terkesan diam dengan adanya perihal upaya dari PT PBM yang telah melakukan pengambilan tanah kami secara sepihak.
Bila hal ini tidak dilakukan upaya penyelesaian secepatnya, maka hal ini akan memicu konflik sosial dan persoalan hukum di kemudian hari atas aktifitas eksploitasi yang dilakukan oleh perusahaan.
Kami selaku warga negara tetap mendukung proses investasi dan harus didukung namun kemudian tidak menimbulkan kerugian bagi warga atau masyarakat! Jadi kami berharap siapapun tidak mengeluarkan statement yang konyol atau tidak paham atas kejadian di desa kami. Jangan seolah-olah apa yang kami lakukan adalah anti terhadap investasi, padahal hak kami sudah dirampas dan tidak dilakukan ganti rugi oleh perusahaan. Jangan jadi provokator murahan yang justru tidak menyelesaikan persoalan atas apa yang kami alami!
Kami mendesak agar pemerintah Kabupaten Aceh Barat Bersama DPRK Aceh Barat punya sikap menyelesaikan berbagai persoalan yang ditimbulkan oleh perusahaan tersebut, mengingat dan menimbang bahwa persoalan ini telah kami laporkan ke DPRK secara resmi dan kemudian dilakukan rapat dengar pendapat (RDP) untuk membahas dugaan penyerobotan lahan yang diduga dilakukan PT Prima Bara Mahadana (PT PBM) di Kecamatan Kaway XVI. Namun kami sangat kecewa hingga saat ini paska rapat berlangsung di Aula DPRK, pada Senin (15/11/2021) lalu tidak mendapatkan titik terang.
Tentunya kami sangat kecewa dimana dilain kesempatan, Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkompinda) Aceh Barat menyatakan mendukung sepenuhnya terkait investasi tambang batu bara oleh PT PBM di daerah ini sebagai upaya untuk meningkatkan perekonomian masyarakat, sekali kami tetap mendukung investasi di Aceh Barat dan di desa kami.
Kami menilai ini sangat aneh, bagaimana bisa banyak persoalan yang ditimbulkan oleh perusahaan di desa kami, tapi Forkompinda menyimpulkan tidak ada lagi masalah. Padahal kami mencatat berbagai kejanggalan dan perusahaan melabrak berbagai aturan perundang-undangan yang berlaku, seperti terkait dengan persoalan tanah, Kami menduga bahwa unsur Forkompinda telah dengan sengaja mengangkangi dan berani mengabaikan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 96 Tahun 2O21 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan dimana dalam BAB XVII tentang Penggunaan Tanah Untuk Kegiatan Usaha Pertambangan, Pasal 175 ayat (1) menyebutkan tentang Pemegang IUP, IUPK, atau SIPB sebelum melakukan kegiatan Usaha Pertambangan wajib menyelesaikan hak atas tanah dalam WIUP atau WIUPK dengan pemegang hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Artinya Pemegang IUP, IUPK, atau SIPB wajib memberikan kompensasi berdasarkan kesepakatan bersama dengan pemegang hak atas tanah. Namun faktanya, hingga saat ini hal tersebut tidak terealisasi! Kami melihat bahwa ada potensi pelanggaran hukum dan Hak Asasi Manusia dalam kasus ini, dimana ada hak warga negara telah dirampas oleh perusahaan dan negara abai tidak memberikan perlindungan dan bantuan untuk mendapatkan hak-haknya sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan!
Kami saat ini akan mempertimbangkan membawa persoalan ini ke tingkat provinsi (Pemerintah Aceh) dan akan segera menyurati Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Aceh dan DPR-RI agar persoalan ini menjadi tidak simpang siur dan menimbulkan persoalan hukum dan konflik sosial dikemudian hari!
Terakhir kami juga mempertanyakan soal legalitas izin lingkungan (AMDAL-Analisis Dampak Lingkungan Hidup) sebagaimana diatur dalam aturan perundang-undangan dan turunannya seperti disebutkan dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor: P.23/MENLHK/SETJEN/KUM.1/7/2018 Tentang Kriteria Perubahan Usaha Dan/Atau Kegiatan Dan Tata Cara Perubahan Izin Lingkungan.
Ini juga apa yang disebutkan dalam PP Nomor 22 TAHUN 2021 Tentang Penyelenggaraan Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan PP Nomor 27 Tahun 2012 Tentang Izin Lingkungan, Pasal 9 ayat (1) disebutkan bahwa Pemrakarsa, dalam menyusun dokumen Amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, mengikutsertakan masyarakat yang terkena dampak; dan kami selaku warga yang terkana dampak atas aktifitas penambangan di atas hingga berada di jalurnya merasakan bahwa tidak ada proses perlibatan sama sekali, sehingga hak masyarakat tidak dirampas ***
Komentar