Pohon Kenangan

Laporan ,

Bimcmedia.com, Meulaboh - Sampan seukuran 12 orang itu sudah siap membawa kemudinya. Aku ingin sekali duduk paling ujung, tepat di pucuk sampan. Karena posisi tersebut, bisa melihat panorama alam lebih leluasa.

[caption id=

Hutan yang meranggas di sepanjang hilir sungai. Monyet-monyet bergantung di ujung dahan yang hampir menyentuh air. Mereka bercanda ria dengan lawannya.

Di seberang sungai, aku melihat Jasmardi sedang asyik menarik mata pancing. Lalu ia melambaikan tangan. Lelaki yang kuprediksi hanya akan bertambah tinggi sekitar 30 cm lagi saat dewasa, sedang aku akan lebih tinggi darinya.

“Ho nyan?(kemana?)” tanya lelaki setahun lebih tua dariku itu.

“Jak meudrin (Pergi mencari durian),” pekakku yang duduk di pucuk sampan.

Kakek sudah melajukan sampannya. Karena menurun arus, untuk sampai ke tujuan hanya butuh waktu 30 menit. Kami akan sampai ke sebuah kebun milik kakek yang terletak di desa tetangga.

Konon, kakek dan nenekku asli dari desa tersebut. Namun setelah bencana alam. Banjir besar melanda Sungai Mas pada tahun 1980-an mereka membeli tanah di desa Kajeung, melanjutkan bahtera rumah tangganya hingga beranak cucu.

Hai, aku Aisyah, cucu kedua Kakek Sulaiman. Kala itu hidup yang masih sangat bergantung dengan alam. Seperti lauk pauk di cari sendiri di sungai. Sayur-mayur hasil kebun sendiri. Bahkan sampai membangun rumah. Semua keperluan bersumber dari hutan.

Kakekku sama halnya dengan orang lain kala itu. Suka menanam pohon jati yang berbuah. Seperti durian, langsat, manggis, rambutan dan lainnya. Tujuannya tidak untuk dijual karena saat itu buah-buahan masih berlimpah ruah setiap rumah. Dan juga tidak mudah akses transportasi keluar dari daerah terpencil ini.

Namun, tujuan mereka menanam pohon jati berbuah. Agar anak cucu menikmatinya. Demi anak cucu tidak menelan liur saat musim buah.
***
Matahari sudah merangkak beberapa meter dari peraduannya ketika kami memasuki area perkebunan. Kakek menyuruhku masuk ke dalam keranjang besar di belakang punggungnya. Keranjang itu untuk memasukkan durian nanti ketika pulang.

Aku segera naik, karena mendaki gunung yang lumayan tinggi. Untuk seumuranku yang masih 5 tahun. Saat itu aku masih melihat kakek dan nenek sangat gagah menaiki gunung dan membawa barang banyak.

Nenek dengan lincah menaiki jalan setapak itu. Dengan sebuah rantang di tangannya. Sedang aku bersuka-ria di dalam keranjang menyaksikan perjalanan yang teduh oleh pepohonan.

Dari jauh kami sudah menangkap bayang beberapa orang. Sepertinya mereka bermalam di rangkang punya kakekku. Untuk menunggu durian runtuh semalaman.

Para lelaki paruh baya itu, keponakan nenekku sendiri. Lelaki berbadan tegap itu memberikan aku sebuah durian yang besar. Katanya, dagingnya tebal dan kuning. Aku segera meminta untuk dibelah. Aku segera menyantapnya.

“Drien kunyet nyan Nyoe? (Durian kunyit itu ya?)” tanya Nenek.

“Nyoe loet, ata beuklam.( Ini Baik, punya semalam),” sanggah lelaki itu yang dipanggil paman.

Uniknya mereka semua telah memberikan nama untuk durian itu yang jelas satu spesies. Drien Kunyet, Drien Si Uh, Drien Jeumpa, Drien Ek Mie. Begitulah nama-nama durian yang mereka sebut.

Lantas, menumpuk semua durian semalam di bawah rangkang. Siang mereka akan kembali untuk dibelah duriannya yang hampir seratus lima puluh buah. Lalu dibuat jruek drien. Jruek drien merupakan durian yang dipermentasi. Nanti akan dimasak dengan ikan atau udang. Ini merupakan makanan khas barat selatan Aceh.

Ada beberapa batang durian yang meranggas. Tidak terlalu tinggi. Namun berbuah lebat. Diprediksikan akan jatuh setiap 15 menit sekali. Tidak perlu kejar-kejaran untuk memungutnya. Dalam sehari itu kami mengumpulkan durian hampir 80 buah.

Betapa senangnya aku hari itu. Berlari-lari kecil mengutip durian. Menikmati angin sepoi-sepoi di bawah rangkang. Apalagi Nenek sigap membawa bekal dari rumah.

Kata Kakek pohon durian ini ditanam ketika mengandung Ibuku. Dan Kakek berharap pohon ini terus gagah hingga anakku nanti bisa merasakannya.
***
Ketika sore hari. Aku dengan piawai memberikan tali pada beberapa buah yang akan dibawa pulang. Selebihnya dibelah untuk dibuat dodol durian. Dodol durian juga salah satu cara mengolah durian agar lebih tahan lama.

Setelah melaksanakan salat Ashar. Kami bergegas pulang karena harus menaiki arus beberapa jam. Dengan bawaan yang penuh di dalam sampan, mulai dari durian hingga buah-buahan lain. Bahkan, di sepanjang hilir Nenek mengutip kayu bakar. Sedangkan aku duduk manis di antara buah-buah itu.

Kakek dan Nenek sering melibatkan aku dalam pekerjaannya. Aku meniru setiap jejak langkah mereka. Aku memiliki masa kecil yang indah penuh pengajaran secara tidak langsung. Tidak hanya tentang agama tapi juga tentang mencintai alam.

Rumah Kakekku tepat di pinggir sungai. Banyak pohon berbuah di sekeliling rumah. Rumah yang sederhana tapi membesarkan kami dengan istimewa.

Kakek sangat menjaga lingkungan agar terus asri. Sungai yang jernih dan asyik untuk bermandi. Kakekku menanam bambu di pinggir sungai sehingga bisa mencegah erosi.

Kakek sangat rajin merawat pohon yang telah dia tanam. Walaupun jauh dari rumahnya. Aku, kala itu selalu memperhatikan bagaimana Kakek dalam menjaga alam.
***
Seiring perkembangan zaman. Kakek pun telah pulang menghadap Tuhan. Tanahnya yang di pinggir sungai dulu, kini telah menjadi kebun sawit. Rumahnya telah berpindah ke dekat rumahku di pinggir jalan. Tiga tahun sebelum kepergiannya.

Kebun-kebun durian tidak lagi terurus. Kami hanya menjenguknya ketika musim buah. Ya, cita-cita Kakekku dulu tercapai. Anak cucunya tidak pernah kesusahan mendapatkan durian ketika musimnya.

Maraknya tambang emas di daerahku. Telah menggiurkan Ibnu Sulaiman membangun tambang di tanah peninggalan orangtuanya itu. Meskipun hanya beberapa batang durian yang masih gagah dan berumur. Tapi setidaknya, pohon itu selalu berbuah di setiap musim dengan lebat.

Pohon tua itu menjadi saksi, bahwa Ibnu Sulaiman mendapatkan durian gratis setiap musim. Pohon itu pula menjadi saksi, di setiap pergantian fase aku dan anggota keluarga yang lainnya.

Kurang lebih 50 tahun. Pohon itu menjadi penyangga tanah yang terletak di pinggir sungai ini. Sebuah beco berwarna kuning telah sigap berdiri disamping pohon tua. Lengkap dengan berbagai peralatan lain untuk mengerok tanah yang berpotensi emas. Sehari dua hari bahkan sudah berminggu. Beco itu mengacak-acak tanah kosong di pinggir pohon tua itu.

Emasnya ada. Lumayan untuk projek biasa itu. Apalagi di tengah musim melonjak harga emas seperti sekarang. Tidak kalah telak oleh modal yang besar. Apalagi untuk membayar fee pada negara. Agar tidak terkesan tambang liar.

Namun, saat aku berada di lokasi itu. Bayang-bayang masa kecilku bersama Kakek terlintas dalam benak. Seakan aku sedang berlari kecil mengutip durian jatuh. Aku masih mengingat jelas, bagaimana Kakek membabat semak itu agar mudah mengutip buah durian.

Setelah tambang ini selesai. Pohon tua itu akan tumbang. Dia paling bisa bertahan sekitar setahun lagi. Karena tanah di bawah naungan pohon itu yang berpotensi emas.

Mungkin kami bisa menikmati uangnya. Tapi setelah ini kami akan kehilangan kenangan indah bersama Kakek. Tidak ada lagi durian gratis saat musim ke depan.

Hatiku teriris. Perasaanku terluka. Terlalu serakahnya kami ini hanya demi sebongkah emas. Hanya demi lembaran rupiah. Tapi aku bisa apa, hanya kaum muda yang belum berpenghasilan apa-apa. Apalagi untuk mengadopsi pohon tua ini.

Setelah tambang ini selesai. Tanah peninggalan Kakek akan liar. Mungkin tak mampu lagi mengangga untuk terus kokoh. Bahkan aku khawatir, perlahan akan mengalami erosi.

“Kakek maafkan aku, yang tidak bisa mencegah ini semua. Maafkan aku uang tidak bisa mengikuti langkahmu dalam menjaga alam!”

---

Penulis : Deva Risma

Editor: Ubaidillah

Komentar

Loading...
error: Content is protected !!