T. Iskandar Daod : Pj Gubernur Aceh Harus Perioritaskan Penyelesaian Rumah Sakit Regional

Bimcmedia.com, Meulaboh; Rencana pembangunan 5 buah Rumah Sakit (RS) Regional di Aceh, yang lokasinya tersebar di Kota Langsa, Kabupaten Bireuen, Kabupaten Aceh Tengah, Kabupaten Aceh Barat dan Kabupaten Aceh Selatan, digagas menjelang akhir periode pemerintahan Gubernur Zaini Abdullah-Muzakir Manaf, pada tahun 2016. Sedangkan pelaksanaan pembangunannya dilakukan pada akhir periode pemerintahan mereka, yaitu sekitar tahun 2017.
Pada saat masa jabatan mereka berakhir, maka sejak tahun 2018 pembangunan RS Regional tersebut dilanjutkan oleh Pemerintahan Gubernur Irwandi-Nova. Namun sampai periode Gubernur Irwandi-Nova berakhir pada tanggal 5 Juli 2022 lalu, tidak satupun dari ke-5 RS Regional yang tersebar di seluruh pelosok Aceh itu dapat berfungsi. Bahkan ada yang belum selesai dibangun sama sekali. Sedangkan dana APBA yang terserap ke situ sudah hampir Rp 1 triliun lebih. Apa sebabnya?
Untuk mendapat kejelasan dari silang sengkarut tersebut, Koran Independen mencoba untuk menelusuri jejak permasalahannya melalui salah seorang tokoh politik yang konon kabarnya merupakan salah seorang Anggota DPR Aceh yang sangat gigih mendukung gagasan pembangunan ke-5 RS Regional di ke-5 penjuru Aceh itu.
Tokoh tersebut adalah T. Iskandar Daod, S.E., M.Si., Ak., Ketua Komisi VI DPR Aceh tahun 2014-2017, yang membawahi bidang Kesehatan.
Menurut T. Iskandar Daod, yang saat ini juga menjabat sebagai Wakil Ketua DPW Partai Nasdem Aceh, rencana pembangunan ke-5 RS Regional itu memang sudah menuai kontroversi sejak awal. Terutama dalam hal pembiayaannya. Sebab, pada waktu itu telah terjadi polarisasi sikap pro dan kontra yang cukup tajam di kalangan Anggota DPR Aceh terhadap sumber anggaran yang akan dipakai untuk membiayai pembangunannya.
Awalnya Pemerintah Aceh berencana untuk menerima tawaran dana pinjaman lunak (Soft Loan) dari Bank Kreditanstalt für Wiederaufbau (Kfw, yaitu Institut Kredit untuk Rekonstruksi) Jerman, untuk membiayai pembangunan RS Regional di Aceh itu sebesar Rp 1,9 triliun.
"Namun rencana untuk menerima tawaran dana pinjaman luar negeri dari Bank milik Pemerintah Jerman tersebut tidak disetujui oleh mayoritas Fraksi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Aceh dalam sidang paripurna yang berjalan cukup alot," ujarnya. "Sehingga DPR Aceh tidak dapat mengeluarkan rekomendasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh dana pinjaman tersebut," lanjutnya lagi.
Akhirnya Pemerintah Aceh 'terpaksa' membangun ke-5 unit RS Regional itu dengan mengandalkan biaya yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA). Namun, menurut T. Iskandar Daod, anggaran yang dialokasikan setiap tahun anggaran itu terlalu kecil, sehingga penyelesaiannya akan memakan waktu yang cukup lama.
Sebagai contoh, pembangunan rumah sakit regional Aceh Barat di Meulaboh. Pada tahun 2017 dialokasikan anggaran sebesar Rp 30 miliar, tahun 2018 dialokasikan anggaran sebesar Rp 40 miliar, pada tahun 2019 dialokasikan anggaran sebesar Rp 50 miliar, pada tahun 2020 anggaran yang dialokasikan turun menjadi sebesar Rp 34,3 miliar. Dan pada tahun 2021, dialokasikan lagi anggaran sebesar Rp 57,6 miliar. Sehingga bila dijumlahkan seluruhnya baru mencapai Rp 211,9 miliar. Padahal anggaran yang diperlukan untuk pembangunan RS Regional tersebut hampir mencapai Rp 350 miliar lebih. "Kalau besaran alokasi anggarannya dipenggal kecil-kecil seperti itu, kapan siapnya?" Tanyanya gusar
"Tampaknya janji Gubernur Aceh periode 2017-2022 untuk melanjutkan pembangunan RS Regional di ke-5 Kabupaten/Kota di Aceh itu telah diabaikan dan tidak dianggap sebagai prioritas, sehingga sampai berakhirnya masa jabatan mereka pada tanggal 5 Juli 2022 lalu, ke-5 RS Regional tersebut tidak selesai dan terlantar begitu saja," ujar T. Iskandar Daod dengan ekspresi wajah yang sangat kecewa.
"Padahal, RS Regional merupakan kebutuhan yang sangat mendesak bagi Rakyat di pedalaman Aceh pada saat ini," lanjutnya lagi. "Karena Rumah Sakit Regional merupakan solusi yang sangat signifikan untuk mengatasi besarnya jumlah pasien rujukan yang selama ini semuanya menumpuk ke RSUD Zainal Abidin di Banda Aceh, yang sebenarnya sudah tidak mampu lagi menampung jumlah pasien dari seluruh pedalaman Aceh yang terus membludak," tambahnya lagi
"Kalau memang merasa tidak mampu, seharusnya Gubernur Nova pada waktu itu dapat mengupayakan kembali pinjaman lunak dari Bank Kfw Jerman yang sebelumnya memang sudah bersedia untuk membiayai pembangunan ke-5 RS Regional tersebut sebesar Rp 1,9 Triliun," lanjutnya.
"Ke depan ini saya harap semoga Pj. Gubernur Aceh mau memprioritaskan penyelesaian pembangunan ke-5 RS Regional itu, sehingga pada akhir masa jabatannya nanti Beliau dapat menanda tangani prasasti peresmian Ke-5 RS Regional tersebut, sehingga dapat menjadi legacy yang sangat monumental dan bersejarah bagi Beliau selama menjadi Pj. Gubernur Aceh," pungkasnya mengakhiri pembicaraan dengan Koran Independen.
***
Komentar